Mendidik Pemuda/i Anti Pornografi

Zaman sekarang banyak ancaman yang harus dihadapi oleh anak – anak dan pemuda pada umumnya yang masih dalam masa pertumbuhan, diantaranya perbuatan asusila atau pornografi. Pornografi berasal dari bahasa Yunani yaitu Pornographia, atau secara harafiah berarti tulisan atau gambar tentang pelacur. Dari sumber lain dijelaskan bahwa pornografi adalah penggambaran tubuh manusia atau prilaku seksual manusia secara terbuka / langsung. Dari beberapa survey menunjukkan perbuatan pornografi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Beberapa hasil penelitian menunjukkan kondisi yang memprihatinkan dan mengejutkan.

Komnas Perlindungan Anak merilis data di tahun 2010 bahwa 62,7% remaja SMP di Indonesia sudah tidak perawan. Hasil lain dari survey itu, ternyata 93,7% siswa SMP dan SMA pernah melakukan ciuman, 21,2% remaja SMP mengaku pernah aborsi, dan 97% remaja SMP dan SMA pernah melihat film porno. Sebelumnya, pada tahun 2008 lalu, Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN pusat, M. Masri Muadz pernah menyampaikan bahwa 63% remaja usia SMP dan SMA di 33 propinsi di Indonesia telah melakukan praktik pornografi. Tiga tahun sebelumnya (2005), sebuah survey yang diselenggarakan sebuah perusahaan kondom, mengungkapkan data sekitar 40-45% remaja berusia antara 14-24 tahun menyatakan bahwa mereka telah berhubungan seks bebas di luar pernikahan. Survey tersebut dilaksanakan di hampir semua kota besar di Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Jika dibandingkan dari angka statistik yang ada, begitu signifikan perkembangannya dalam jarak beberapa tahun ini. Maka pertanyaan yang patut kita renungkan adalah, apa jadinya bangsa ini jika generasi mudanya telah terjerumus pada tindakan pornografi? Bagaimana nasib bangsa yang berbudaya dan religius ini jika dipimpin oleh orang-orang yang terbiasa melakukan tindakan asusila atau pornografi? Masa depan adalah milik generasi muda saat ini, karena itu masa depan bangsa sangat ditentukan oleh kualitas generasi mudanya. Ada beberapa cara untuk menanggulangi parbuatan pornografi tersebut, yang tentunya diperlukan usaha terpadu antara orang tua, sekolah, pemerintah dan masyarakat.

Pertama, Dalam hal ini orang tua sangat berperan, karena anak pertama kali kenal dengan orang tua, dan merekalah pendidik utama anak didalam keluarga.
Kelalaian orang tua dalam mendidik anak dapat menjadikan anak salah dalam bergaul. Oleh karena itu orang tua perlu rajin berdoa agar diberi anak yang beriman dan beretika baik, membekali anak dengan iman yang kuat dan membimbing rohani anak secara aktif dan konsisten, sehingga anak memiliki benteng agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan atau praktik pornografi. Orang tua juga perlu mendidik dan memberi pemahaman kepada anak agar terhindar dari tindakan pornografi.

Orang tua dituntut memiliki hubungan komunikasi yang baik dengan anak, sehingga orang tua akan mudah dalam membimbing dan mengarahkan anak ke hal – hal yang positif. ketika anak sudah bisa berpikir, orang tua mesti mendidik dan memberikan pemahaman kepada anaknya agar menghindari pornografi. Orang tua dapat melakukan pendekatan dengan cara senantiasa memberikan pujian di hadapan anak atau kepada remaja yang berpakaian sopan, tidak terjerumus pada pergaulan bebas yang ada di sekitarnya. Sebaliknya, orang tua juga perlu mencela dan menasehati perilaku remaja yang berpakaian tidak sopan, bergaul bebas, dan perilaku-perilaku yang tidak baik. Pendekatan ini diharapkan menanamkan pengertian kepada anak bahwa perbuatan pornografi harus dihindari. Jangan sampai anak mempunyai pemikiran bahwa tindakan pornografi adalah wajar untuk dilakukan pada zaman sekarang yang sudah maju ini.

Kemajuan teknologi dapat mempermudah anak untuk melihat vidio ataupun foto porno. Pelaku vidio porno, pembuat, pengedar dan orang yang melihat adegan porno sama – sama berdosa. Oleh sebab itu orang tua hendaknya tidak memberikan fasilitas kepada anak yang membuka peluang untuk mendekati pornografi, sebelum orang tua dapat memastikan anaknya tidak akan mengakses situs porno, contohnya HP dan Laptop yang connect internet. Tetapi bila orang tua sudah yakin anaknya tidak akan mengakses situs porno, tidak ada salahnya bila orang tua memfasilitasi anak dengan HP ataupun laptop yang connect internet demi kemajuan pendidikan atau ilmu pengetahuan anak. Akan lebih baik jika orang tua memahami penggunaan HP / laptop yang connect internet agar orang tua dapat mengawasi kegiatan yang dilakukan anak di kedua tekologi tersebut.

Selain itu pengaruh film dan sinetron yang beradegan pornografi yang ditanyangkan di televisi, secara perlahan tapi pasti, turut membentuk pemikiran remaja bahwa perilaku pacaran yang mendekati pornografi tersebut merupakan sesuatu yang wajar, dan tidak tabu lagi, meskipun mereka tahu jika perbuatan itu dilarang dalam agama. Untuk itu orang tua perlu mendampingi anak dalam melihat tanyangan di televisi dan memilihkan tanyangan yang baik untuk ditonton anak, tentunya tanyangan yang sesuai dengan umur anak dan yang jauah dari adegan pornografi.

Kedua, sekolah perlu membuat tata tertib bagi peserta didik yang menghambat terjadinya kasus pornografi. Misalnya, menetapkan sanksi berat bagi siswa yang menyimpan, melihat, atau mengedarkan video atau gambar porno; menggelar razia secara berkala terhadap konten HP siswa; tidak membolehkan membawa HP ke sekolah; dan sebagainya. Tata tertib yang telah ditetapkan tersebut harus dijalankan secara konsisten, tanpa membedakan antara siswa yang satu dengan yang lain.

Melalui sekolah juga diharapkan remaja memahami bahaya pornografi, baik dari segi agama, kesehatan, maupun sosial, dan sebagainya, yang diselipkan pada mata pelajaran terkait. Misalnya dari segi agama, perbuatan pornografi adalah dosa karena bertentangan dengan nilai agama. Dari segi kesehatan, perbuatan pornografi dapat menyebabkan seseorang terjangkit suatu penyakit, contohnya virus HIV. Dari segi sosial, perbuatan pornografi dapat menyebabkan orang dijauhi dari lingkungannya dan tidak disenangi oleh masyarakat sekitar. Dari segi hukum, perbuatan pornografi tentunya melanggar hukum dan adat istiadat yang berlaku di Indonesia, orang yang melakukan tindakan pornografi dapat dijatuhi hukuman.

Pendidikan di sekolah merupakan ujung tombak dalam menghadapi pornografi. Reformasi pendidikan berulang-kali digulirkan untuk mencari suatu pola yang lebih baik. Pendidikan yang harus dilandasi oleh pemikiran harus menyeluruh untuk pria dan wanita, orang kaya maupun miskin. Pendidikan yang tidak mempersoalkan masalah perbedaan agama, ras, golongan, dan etnik. Degradasi budaya dan moral bangsa mengisyaratkan betapa pentingnya pendidikan yang berkebudayaan.

Ketiga, pemerintah mesti pro-aktif mendidik kaum muda yang anti pornografi. Banyak kebijakan pemerintah yang sebenarnya ditunggu oleh masyarakat terkait pornografi tersebut, misalnya: memberikan sanksi berat kepada pelaku pornografi, sehingga menimbulkan efek jera. Bukan sekedar ditangkap, dibina, lalu dibebaskan dan kembali melakukan perbuatan yang sama. Pemerintah harus tegas dalam menangani masalah – masalah pornografi yang dapat merusak moral bangsa. Selain itu, pemerintah juga diharapkan tidak memberi tempat bagi penjaja seks, termasuk peredaran VCD porno. Walaupun kadang hal itu juga bertentangan dengan hati nurani, karena tidak semua penjaja seks itu kotor. Ada banyak alasan mengapa mereka memilih pekerjaan sebagai penjaja seks.

Mungkin sulitnya mencari pekerjaan dan beratnya taggungan atau beban hidup membuat mereka terpaksa memilih bekerja sebagai penjaja seks. Untuk itu pemerintah perlu membuka lapangan kerja baru, sehingga mereka tidak kembali lagi bekerja sebagai penjaja seks. Dibutuhkan pula kebijakan melarang warnet (warung internet) yang bersekat/dinding penutup antara satu computer dengan computer lainnya. Sebab hal ini akan memberi peluang bagi pengunjung untuk bebas mengakses situs-situs porno. Bahkan memberi peluang bagi pengunjung untuk melakukan tindakan asusila atau praktik pornografi didalam ruangan bersekat itu. Lebih dari itu, pemerintah juga diharapkan memblokir situs-situs porno sehingga mengurangi penyebab terjadinya pornografi tersebut, terutama di kalangan remaja yang masih muda belia.

Keempat, peran masyarakat sangat dibutuhkan pula dalam mengawal anggota masyarakatnya terbebas dari praktik pornografi. Tokoh-tokoh masyarakat, baik dari perangkat kelurahan/desa, RT/RW, pemimpin agama, pendidik, pemuda, dan tokoh adat, mesti bersatu dalam memberantas penyakit masyarakat tersebut. Masyarakat perlu bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang “bersih”, bebas dari praktik pornografi.

Perdebatan tentang batasan pornografi dan pornoaksi hendaknya tidak difokuskan hanya pada norma-norma religi, sekalipun nilai-nilai religius itu lebih banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Karena, bumi dengan segala isinya bukan diciptakan hanya untuk satu ras, atau bagi segolongan manusia. Melainkan secara universal dianugerahkan bagi seluruh umat manusia, dengan segala bentuk peradabannya yang luhur. Sementara kita sebagai manusia beradab dengan sendirinya telah memiliki pegangan hidup berupa norma keyakinan dan nilai kultur yang luhur.

Pada akhirnya, dengan usaha bersama dan komitmen yang tinggi, diharapkan mampu menekan perilaku yang mendekati pornografi. Penanaman nilai-nilai agama dan budaya luhur kepada generasi muda sejak dini mesti dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Agar generasi muda punya pemikiran bahwa hal – hal yang tidak sesuai dengan nilai agama dan budaya yang luhur harus dihindari.

Comments